Oleh: Tubagus Saptani Suria (Pemuda Banten)
HitzSerpong – Perayaan 97 tahun Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2025 mengajak kita untuk merefleksikan kembali peristiwa bersejarah tahun 1928 itu bukan sekadar sebagai ritual, melainkan sebagai fondasi fundamental berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pertanyaan reflektif patut diajukan: akankah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 mungkin terwujud tanpa ikrar pemuda pada 1928? Pertanyaan ini mengingatkan kita bahwa proses menjadi “manusia Indonesia” adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh liku, bukan sesuatu yang instan.
Keabadian semangat Sumpah Pemuda hingga 97 tahun kemudian bukanlah karena kesaktian semata, melainkan karena ketulusan dan keikhlasan para pemuda saat itu untuk menyatukan ribuan bahasa, budaya, dan keyakinan dalam satu bingkai bangsa baru: Indonesia. Mereka bersepakat untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, sebuah konsep yang hingga kini tetap relevan.
Persatuan dalam Tantangan
Keberhasilan menyatukan kemajemukan itu adalah prestasi luar biasa. Bayangkan, tanpa ikrar bersama itu, mampukah Indonesia berdiri kokoh seperti sekarang? Namun, persatuan yang telah dibangun dengan susah payah itu kerap diuji.
Kritik terhadap kondisi negara kerap muncul, dan hal ini kerap berakar pada ketidakamanahan para pemangku kekuasaan dalam menjalankan amanat rakyat. Setelah 80 tahun merdeka, jika kemiskinan dan kebodohan masih menjadi momok, maka evaluasi harus ditujukan kepada para penguasa dan birokrasi yang dianggap tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara murni.
Harapan untuk Masa Depan
Refleksi ini diakhiri dengan sebuah harapan sekaligus peringatan: semoga tidak perlu ada “Sumpah Pemuda” kedua di masa depan. Kebutuhan akan hal tersebut dapat menjadi indikasi bahaya yang mengancam persatuan bangsa.
Di usia ke-97 ini, semangat Sumpah Pemuda harus terus menjadi penuntun bagi generasi muda Indonesia untuk terus berjuang mewujudkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur di atas kaki sendiri.

 
																						
