Catatan Kaum Marginal

HitzSerpong-merupakan hari bersejarah Indonesia. Yang mana, rakyat sedang berpesta demokrasi untuk menentukan nasib masa depan Indonesia. Terdapat lima agenda debat Capres dan Cawapres periode 2024-2029 disiarkan di beberapa Lembaga penyiaran Televisi.

Nampaknya, di beberapa tempat, seperti Warkop, Salon, Pasar, poskamling, Toko, dll. Sebagian besar khalayak media sangat antusias menanti debat itu. Para pendukung atau pemirsa tv saling berkomentar dan mengungguli salah satu paslonnya. Tak sampai disitu, Hasil dari debat menjadi fenomena buah bibir Masyarakat kita.

Kalau kita merujuk pada disiplin Ilmu Komunikasi maka Agenda Settinglah yang sesuai dari permasalahan di atas. Secara sederhana, agenda setting adalah dimana media menciptakan dan mengagendakan suatu isu yang tidak penting, seolah-olah menjadi penting.

Mengapa media mengangkat isu itu?. Padahal, ada isu penting untuk dijadikan perhatian bersama. Bukan rahasia umum lagi, salah satu faktornya rating, menentukan semuanya.

Sepuluh meter dari Istana Negara. Ada beberapa kaum marginal, saya temui. Misalnya; keluarga gelandangan dalam satu gerobak, terdiri dari ayah, ibu, nenek dan dua anaknya. Mereka makan di dekat lorong Gedung Jiwas raya. Tak peduli makanannya dihinggap oleh lalat dan anak bungsunya sedang meminum susu di botol.

Disisi lain, Ketika saya mencukur rambut. Ada seorang ibu membawa balitanya di Barbershop, si ibu itu sudah akrab dengan tukang cukur. Ia curhat anaknya minta jajan es saat imunisasi di Posyandu dan tidak punya uang Rp 10.000.

Ia juga sempat kesal dengan suaminya karena pengangguran, malas mencari kerja, di rumah cuman makan, tidur dan menghabiskan kouta istrinya.

Setahun lalu, saat saya mengeluarkan kendaraan di luar rumah, seorang bocah laki-laki sambil membawa plastik kresek hitam menawarkan bajunya, alasannya untuk makan.

Selanjutnya, dua hari yang lalu. Ketika, saya pulang kantor. Tiba-tiba ban motor saya bocor. Saya mencari tukang tambal ban di dekat kantor.

Seorang Bapak tua dengan pakaian lusuh dan kotor, memanggil dan menghampiri saya. Ia adalah seorang tambal ban.

Saya mengira bapak tua itu berumur 65 tahun. Ternyata berusia 79 tahun. Sempat saya bertanya mengenai keluarganya. Ia bercerita memiliki putri satu, menikah dan mempunyai dua anak masih kecil.

Namun Naas, suaminya, berprofesi seorang nelayan meninggal karena badai di laut. Demi menghidupi kedua anaknya. Putrinya menjadi pengamen di lampu merah.

Mungkin ada lagi, segudang cerita memprihatinkan kaum marginal yang belum saya temui. Sayang, media tidak concern dan meliput tema itu, memang susah kalau patokannya demi rating.

Hemat saya, buat Khalayak media tv atau online pentingnya kita harus mengkritisi isu media.

Janganlah kita termakan atau terbaur oleh agenda media mentah-mentah. Alih-alih mengatakan, orang-orang yang cerdas adalah orang-orang berdiskusi mengenai “isu-isu apa saja yang diangkat oleh media?. Dan apakah perlu kita Analisis dan kritisi isu itu?”.(eka)

Oleh:
Nama: Muhammad Syaid Agustiar
Dosen Fakultas Komunikasi dan Desain Kreatif, Universitas Budi Luhur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BERITA TERKINI